“Syirkah”
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu:
Drs. Multazim, M.Ag

Disusun Oleh :
1. Mustofa (2014390103631)
2. Muflihah Al Mansur (2014390103627)
3. Siti Nur Lailatul
Jannah (2014390103640)
Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan
Agama Islam
Institut Agama Islam (IAI) Ibrahimy
Genteng Banyuwangi
2015
KATA PENGANTAR
بــسم الله الر حمن الر حيم
Assalamu’alaikum.Wr.Wb
Segala puji bagi Allah SWT atas segala nikmat dan
karunia-Nya. .Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad Saw,beserta keluarga dan para sahabatnya.
Dengan rahmat dan
inayah dari Allah SWT, bahwa penulis telah menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Syirkah”.
Dalam penyusunan
makalah ini tidak sedikit halangan atau rintangan yang penulis hadapi. Namun penulis
menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan semua
kalangan sehingga kendala – kendala yang penyusun hadapi bisa teratasi.
Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada: Bapak Drs. Multazim, M.Ag Selaku Dosen pembimbing yang telah memberikan
tugas makalah ini dan petunjuk kepada penulis sehinga termotivasi dalam
menyusun makalah ini. Teman – teman yang telah memberikan dorongan Dan
Motivasi kepada Penulis dalam menyusun
makalah ini.
Semoga makalah ini
bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan.
Khususnya bagi penulis semoga tujuan dalam pembuatan makalah ini bisa tercapai.
Wassalamu’alaikum.Wr.Wb
Genteng,11
Maret 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL..................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................ ii
DAFTAR ISI...............................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah........................................................................... 1
1.3
Tujuan............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Syirkah.......................................................................... 3
2.2 Hukum Syirkah............................................................................... 4
2.3
Rukun dan Syarat Syirkah.............................................................. 6
2.4 Macam-macam Syirkah................................................................... 7
2.5 Hal-hal yang membatalkan
Syirkah................................................ 13
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan................................................................................................. 15
3.2
Saran - saran................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 16
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Banyaknya
umat muslim yang belum mengetahui bagaimana seharusnya menjalankan syirkah
atau perkongsian dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini yang sesuai dengan
tuntunan syari’at. Hal ini menyebabkan kami untuk membuat sebuah makalah yang
berjudul tentang “syirkah” guna untuk
memberikan sebuah pemahaman kepada para pembaca makalah ini. Pada zaman
sekarang ini banyak orang-orang muslim yang menjalankan sistem syirkah
atau perkongsian dengan mengikuti tata cara orang eropa atu barat yang belum
tentu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh syari’at.
Secara
umum, prinsip syirkah atau bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan
dalam empat akad utama, yaitu al-musyârakah, al-mudhârabah, al-muzâra’ah dan
al-musâqah. Namun dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai al-musyârakah
saja. Sedangkan yang lainnya dalam pembahasan yang lain.
Sungguhpun
demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-musyârakah dan
al-mudhârabah, sedangkan al- muzâra’ah dan al-musâqah di pergunakan
khusus untuk pembiyayaan pertanian oleh beberapa bank islam.
1.2
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dipaparkan beberapa rumusan
masalah yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam makalah ini sebagai
berikut:
1. Bagaimana pengertian dari syirkah?
2. Bagaimana landasan hukum tentang adanya syirkah?
3. Apa saja rukun dan syarat dari syirkah?
4. Bagaimanakah macam-macam dari syirkah?
5. Hal-hal apa sajakah yang menyebabkan berakhirnya syirkah?
1.3
Tujuan
1. Untuk memberikan informasi tentang pengertian dari syirkah.
2. Untuk mengetahui tentang yang mendasari dari syirkah.
3. Untuk memberikan informasi tentang rukun dan syarat dari syirkah.
4. Untuk memberikan informasi tentang macam-macam dari syirkah.
5. Untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang menyebabkan berakhirnya syirkah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau
perkongsian berarti:
اَلإِخْتِلَاطُ
أَى خُلَطُ أَحَدُ الْمَالَيْنِ بِالآُخْرَ بِحَيْثُ لَايَمْتَزَاَنْ عَنْ
بَعْضُهُمَا
"percampuran, yakni bercampunya salah satu
dari dua harta dengan harta lainnya tanpa dapat dibedakan antara keduanya.( Syafei,2000:183)
Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/ expertise)
dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung bersama.( Antonio,2001:90)
Sedangkan menurut istilah terdapat
perbedaan pendapat dikalangan ulama.( Syafei,2000:183)
1. menurut Hanafiah
الشِرْكَةُ هَيْ عِبَارَةُ عَنْ عَقْدَ بَيْنَ
اْلمُتَشَارِكَيْنِ فِيْ رَئْسٍ اْلمَالِ وَالرَبْحِ
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang yang
berserikat didalam modal dan keuntungan.
2. Menurut Malikiyah
هَيْ اِذِنٌ فِى التَصْرِفِ لَهُمَا مَعَا
اَنْفُسُهُمَا اَىْ أَنْ يُأَذْنَ كُلُ وَاحِدٍ مِنْ الشَرِّيْكَيْنِ لِصَاحِبِهِ
فِى اَنْ يَتَّصْرِفَ فِى مَالِ لَهُمَا مَعَ إِبْقَاءُ حَقُ التَصْرِفِ لِكُلِّ
مِنْهُمَا
Perkongsian adalah izin untuk
mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara
bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah
satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki
hak untuk bertasharruf.
3. Menurut syafi’iyah
وَفِيْ الشَرْعِ:
عِبَارَةُ عَنْ ثُبُوتُ الحَقِ فِيْ الشَيْئِ الوَاحِدِ لشَخْصَيْنَ فَصَاعِدًا
عَلَى جِهَةِ الشُّيُوعِ
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu barang
bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama
4. Menurut Hanabilah
الشَّرْكَةُ هِيَ اْلِإجْتِمَاعِ فِيْ اِسْتِحْقَاقِ
أَوْ تَصْرِفِ
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas hak atau tasarruf.
Dari definisi yang dikemukakan oleh
beberapa para ulama mengenai pengertian dari syirkah bahwa yang dimaksud
dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam
bidang usaha atau modal yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah
tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang
keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di
laksanakan.
Transaksi syirkah dilandasi adanya
keinginan para pihak yang bekerja sama
untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk
dalam golongan musyârakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua
pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk
sumber daya, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Melalui akad ini,
kebutuhan nasabah untuk mendapatkan tambahan modal kerja dapat terpenuhi
setelah mendapatkan pembiyaan dari bank. Selain digunakan untuk pembiyayan
modal kerja, secara umum pembiyayaan musyarakah digunakan untuk pembelian
barang investasi dan pembiyayaan proyek, bagi bank, pembiyayaan musyârakah
dan memberi manfaat berupa keuntungan dari hasil pembiyayaan usaha.( Naja,2011:51)
2.2 Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya diperbolehkan atau
disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin.
Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:
1. Al-Qur’an
وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي
بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ. ﴿٢٤﴾
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada
sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Dan firman-Nya pula:
فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ
شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ ﴿١٢﴾
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.”
(QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan
perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam kepemilikan
harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara
otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar
akad (transaksi).
2. Hadits
عَنْ أَبِى
هُرَيْرَةَ رَفْعُهُ اِلَى النَبِيْ ص.م .قَالَ: اِنَّ اللهَ عَزَوَجَلَ يَقُولُ:
أَنَا ثَالِثُ الشَرِيْكَيْنِ مَلَمْ يَخُنْ أَحَدَهُمَا صَاحِبُهُ فَإِذَا
خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak ketiga
dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak
lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.”
(HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).( al-Baghâ,2013:135)
3. Ijma’
Ijma’ ulama mengatakan, bahwa
muslimin telah berkonsensus akan legitimasi syarikah secara global,
walaupun perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari padanya. Maka secara
tegas dapat dikatakan bahwa kegitan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam
islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.( Muhammad,2005:32)
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni,
telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah
secara global walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen darinya.(
Antonio,2001:91)
2.3 Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah adalah sesuatu yang
harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Ada perbedaan terkait dengan rukun
syirkah. Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab
(ungkapan melakukan penawaran perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan
perserikatan), istilah ijab dan kabul sering disebut dengan serah terima. Jika
ada yang menambahkan selain ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti adanya
kedua orang yang berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu bukan termasuk
rukun tetapi termasuk syarat.( Ghazali dkk,2010:128)
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah
menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian, sebagai berikut.( Sahrani dkk,2011:179)
1.
Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan
harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a)
berkenaan dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai
perwakilan, dan b) berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan
harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2.
Semua yang bertalian dengan syirkah mâl. Dalam hal ini terdapat dua
perkara yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah
adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah,
dan b) benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik
jumlahnya sama maupun berbeda.
3.
Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan; a)
modal (harta pokok) harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk
kafalah, dan c) orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan syirkah
umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4.
Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat syirkah
mufâwadhah.
Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang
bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd).
Imam Syafi’i berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah
‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal. Akad syirkah ada
kalanya hukumnya shahih ataupun fasid. Syirkah fasid
adalah akad syirkah di mana salah satu syarat yang telah disebutkan
tidak dipenuhi, jika semau syarat sudah terpenuhi maka syirkah dinyatakan
shahih.( Djuwaini,2008:217)
2.4 Macam-Macam Syirkah
1. Syirkah Amlâk (Hak
Milik)
Yaitu perserikatan dua orang atau lebih
yang dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya.
Dalam bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak
mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin
rekannya. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah amlâk
adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa akad baik
bersifat ikhtiâri atau jabari.( Sabiq,2006:932)
Syirkah milik juga dibagi menjadi menjadi dua yaitu: (Sahrani dkk,2011:
181)
a. Syirkah milk jabr, ialah berkumpulnya
dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa
b. Syirkah milk al-ikhtiyar, ialah ibarat
kesepakatan dua orang atau lebih untuk menyerahkan harta mereka masing-masing
supaya memperoleh hasil dengan cara mengelola harta itu, bagi setiap yang
berserikat memperoleh bagian yang ditentukan dari keuntungan.
Syirkah milk tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang mengakibatkan
pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini,
kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam dua aset nyata dan berbagi dari
keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.( Nawawi,2012:153)
Misalnya: Si A dan si B diberi wasiat
atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau
membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka
mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.
2. Syirkah Uqûd
(Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang
yang bersekutu dalam modal dan keuntungan, artinya kerjasama ini didahului oleh
transaksi dalam penanaman modal dan kesepakatan pembagian keuntungan. Misalnya,
dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkah seperti
inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkah seperti
ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan
kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang,
jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang
dipergunakan adalah milik rekannya.
Macam-Macam Syirkah Uqûd
(Transaksional/kontrak)
Berdasarkan penelitian para ulama fikih
terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam
syarikah, yaitu: (Ghazali,2010:132)
a.
syirkah al-‘inân
Yaitu penggabungan harta atau modal dua
orang atau lebih yang tidak selalu sama jumlahnya. Boleh satu pihak memiliki
modal lebih besar dari pihak yang lain.
Sementara itu, Ibn Qudamah sebagaimana dikutip oleh
Muhammad Abdurrahman Sadique menyebutkan bahwa syirkah al-‘inân adalah
kerjasama dua orang atau lebih dalam hal modal yang dilaksanakan oleh mereka
yang berserikat dalam hal modal tersebut sementara hasilnya dibagi bersama.(
Sadique,2006:26)
Keuntungan dibagi dua sesuai presentase
yang telah disepakati maupun kerugiannya. Sesuai dengan kaidah:
الرَبْحُ عَلَى مَا شَرْطٌا وَالْوَضِيْعَةِ
عَلَى قَدْرِ مَا لَيْنِ
Artinya: “keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan kerugian
ditanggung sesuai dengan modal masing-masing”.
Dan hukum syirkah ini diperbolehkan
berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir.
Contoh syirkah inân: A dan B
pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan bisnis dengan
memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan konstribusi
modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah
tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa
uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau
mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu
dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan,
sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk)
berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka
masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang
berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ
Qadril Mâlain).
Diriwayatkan oleh Abdur
Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal,
sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang
bersyirkah).”
b.
syirkah al-abdân
Yaitu perserikatan dalam bentuk kerja
yang hasilnya dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan, tanpa konstribusi modal
(mâl), seperti kerja sama sesama dokter di klinik, tukang besi, kuli
angkut atau sesama arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua
orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah dan sebagainya.
Kerja sama semacam ini dibolehkan menurut
kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam Syafi’i melarangnya.( Sadique,2006:30)
Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat
melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan
dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60%
dan B sebesar 40%.
Syirkah ‘abdân hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah binMas’ud radhiyallahu
anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan
Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad
membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.”
(HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
c.
syirkah al-mudârabah
Yaitu, persetujuan seseorang sebagai
pemilik modal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudhârib)
dalam suatu perdagangan tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai dengan
kesepakatan bersama. Adapun kerugiannya ditanggung oleh pemilik modal saja.
Menurut jumhur ulama (Hanafiyah, malikiyah,
Syafi’iah, Zahiriyah, dan Syiah Imamiyah) tidak memasukkan transaksi mudharabah
sebagai salah satu bentuk perserikatan, karena mudharabah menurut mereka
merupaka akad tersendiri dalam bentuk kerja sama yang lain yang tidak dinamakan
dengan perserikatan.
Syarat-syarat mudârabah antara lain: (Naja,2011:52)
1.
Modal harus dinyatakan dengan jelas mengenai jumlahnya.
2.
Modal harus diserahkan kepada mudârib untuk memungkinkannya melakukan
usaha.
3.
Modal harus dalam bentuk tunai bukan utang.
4.
Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam persentase dari keuntungan yang
mungkin dihasilkan nanti.
5.
Kesepakatan ratio persentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan
dalam kontrak.
6.
pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudârib
mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada shahib a-mâl
d.
syirkah al-wujûh
Yaitu kerja sama antara dua orang atau
lebih yang memiliki reputasi dan nama baik serta ahli dalam bisnis atau
perserikatan tanpa modal. Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari
suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang
didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka.
Syirkah semacam ini juga dibolehkan menurut kalangan hanafiyah dan
hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan
Zhahiriyah.
Disebut syirkah wujûh karena
didasarkan pada reputasi (wajâhah) kepercayaan (amânah),
kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah masyarakat. Tak seorang
pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik, sehingga mereka membeli
barang secara hutang dengan jaminan nama baik tersebut.( Sadique,2009:32)
Contohnya: A dan B adalah tokoh yang
dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli
barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat,
masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual
barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya
dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah wujûh ini,
keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang
dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra
usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan
kesepakatan.
e.
syirkah al-mufâwadhah.
Yaitu kerja sama antara dua orang atau
lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan
berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara
sama.
Syirkah Mufâwadhah juga merupakan syirkah komprehensif yang dalam syirkah itu
semua anggota sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja sama, seperti ‘înan,
abdân dan wujûh. Di mana masing-masing menyerahkan
kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi
komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa
menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya. Atau syirkah ini
bisa pula diartikan kerja sama dalam segala hal. Namun tidak termasuk
dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan yang didapatkannya,
seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga masing-masing tidak
menanggung berbagai bentuk denda, seperti mengganti barang yang dirampas, ganti
rugi syirkah , mengganti barang-barang yang dirusak dan
sejenisnya.
Dengan demikian, syarat utama dari Syirkah ini
adalah kesamaan dalam hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja,
tanggung jawab, beban utang dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama.
Hukum Syirkah ini dalam
pengertian di atas dibolehkan menurut mayoritas ulama seperti Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika
berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah
lainnya. Namun, imam asy-Syafi’i melarangnya karena sulit untuk menetapkan
prinsip persamaan modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan ini.( Nawawi,2012:154)
Adapun keuntungan yang diperoleh
dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan
kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung
oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah‘inân),
atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau
ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contohnya: A adalah pemodal,
berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya
sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga
sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas
dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada
adalah syirkah ‘abdân, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing
ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A
memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga
terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B
dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan
konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah‘inân di
antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar
kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara
B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan
semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
2.5 Hal –Hal Yang Membatalkan Syirkah (Muslich,2010:363)
1.
Sebab-sebab yang membatalkan syirkah
secara umum
a.
Pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan
akad syirkah merupakan akad yang jâiz dan ghair lâzim,
sehingga memungkinkan untuk di-fasakh.
b.
Meninggalnya salah seorang anggota serikat.
c.
Murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah domisilinya ke darul
harb. Hal ini disamakan dengan kematian.
d.
Gilanya peserta yang terus-menerus, karena gila menghilangkan status wakil
dari wakâlah, sedangkan syirkah mengandung unsur wakâlah.
2.
Sebab yang membatalkan syirkah secara
khusus
a.
Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota
serikat sebelum digunakan untuk membeli dalam syirkah amwâl
b.
Tidak terwujudnya persamaan modal dalam syirkah mufâwadhah ketika
akad akan dimulai. Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal pada
permulaan akad merupakan syarat yang penting untuk keabsahan akad.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau
lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari harta yang
melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu
dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama sesuai
kesepakatan yang telah di laksanakan. Mengenai landasan hukum tentang syirkah
ini terdapat dalam al-qur’an, sunnah dan ijma.
Adapun rukun syirkah ada dua yaitu, ucapan (sighah) penawaran dan
penerimaan (ijab dan qabul) dan pihak yang berkontrak. Dan mengenai
syaratnya ada tiga yaitu, pertama, ucapan: berakad dianggap sah jika
diucapkan secara verbal atau ditulis. Kontrak musyarakah dicatat dan
disaksikan. Kedua, pihak yang berkontrak: disyaratkan mitra harus
kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Ketiga,
objek kontrak (dana dan kerja): modal yang diberikan harus tunai, emas, perak
atau yang bernilai sama. Para ulama menyepakati hal ini.
Kemudian macam-macam syirkah ada dua macam yakni syirkah milk
dan syirkah ‘uqûd. Adapun yang membatalkan syirkah ada yang
secara umum dan ada pula yang secara khusus, seperti yang telah dijelaskan
diatas.
3.2 Saran-saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan baik dalam penjelasan
maupun dalam penulisan kami mohon maaf. Kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun agar dapat menjadi sumber rujukan sehingga menjadikan apa yang kami
buat ini lebih baik dimasa mendatang. Dan kepada para pendengar makalah ini di
harapkan untuk lebih banyak mencari sumber refrensi lainnya terkait judul
makalah kami, karena sesungguhnya isi makalah kami ini masih jauh dari
kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-baghâ, Musthofâ Dayb. al-Tadzhîb fî adillah Matan al-Ghôyah wa
al-taqrîb. Cet. 1. Malang: Ma’had Sunan Ampel al-Ali Uin Maulana Malik
Ibrahim, 2013.
Al-Qur’ân al-Karîm.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Cet.
1. Jakarta: Gema Insani, 2001.
Ghazaly, Abdul Rahman dan Ihsan, Ghufron dan Shidiq, Sapiudin. Fiqh
Muamalat. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2010.
Muhammad. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Edisi 1. Cet.
1. Yogyakarta: Bpfe-Yogyakarta, 2005
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta:
Amzah, 2010.
Naja, H.R. Daeng. Akad Bank Syariah. Cet. 1. Yogyakarta: pustaka
Yustisia, 2011.
Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan kontemporer. Cet. 1.
Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut: Dar al-fikr, 2006.
Sadique, Muhammad Abdurrahman. Essentials of Mushârakah and Mudhârabah.
Edisi 1. Internasional islamic University Malaysia: IIUM Press, 2009.
Sahrani, Sohari dan Abdullah, Ru’fah. Fikih Muamalah. Cet. 1. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2011.
Syafei’, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Cv Pustaka Setia, 2001.